Jumat, 23 Desember 2011

PEMAHAMAN TENTANG TERJADINYA PRILAKU


BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang

Kita ketahui bersama bahwa jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, sudah berdiri  kerajaan. Kerajaan yang berada di Indonesia mempunyai ciri khusus dalam menjalankan roda pemerintahannya. Model pemerintahan diantanya sebagai berikut: upeti kepada kerajaan, kepatuhan rakyat pada rajanya (salah maupun benar), tingkatan strata di masyarakat. Beberapa contoh pola pemerintahan kerajaan diatas sangat melekat dimasyarakat dewasa ini. Hannya saja model dan bentuknya berbeda. Akan tetapi esensinya sama.
Setelah jaman kerajaan Bangsa Indonesia memasuki jaman penjajahan. Pada fase penjajahan ini semua hasil bumi Indonesia diserap untuk kepentingaan penjajah. Rakyat dipekerjakan dengan kekerasan dan hasilnya untuk penjajah, rakyat hanya dapat yang tidak sepadan. Rakyat yang membangkang disiksa, ditindas bahkan dibunuh. Rakyat yang kuat membangkan diadu domba, difitnah agar terpecah sehingga rapuh sehingga mudah untuk dibunuh. Keterangan tersebut adalah gambaran kondisi yang dalami pada masa penjajahan. Adapun pola-pola pemerintahan penjajah di Indonesia diantaranya: memecah belah, adu domba, memeras rakyat.
     Setelah fase kerajaan, fase penjajahan kemudian fase Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada jaman ini Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang. Seiring dengan perkembangannya maka Indonesia memerlukan informasi, ilmu dan teknologi untuk memajukan rakyat Indonesia. Pada proses perkembangannya Indonesia membuka informasi seluas-luasnya demi perkembangan rakyatnya. Bangsa Indonesia terkadang lupa banhwa semua yang dari luar negeri tersebut tidak semua baik. Perkembangan pemerintah Indonesia secara tidak sadar belum bisa menghilangkan prilaku masa kerajaan dan penjajah yang tidak sadar terdoktrin di kehidupan bangsa. Pengalaman bangsa Indonesia pada masa kerajaan dan penjajahan secara tidak sadar mengilhami prilaku  bangsa Indonesia dewasa ini. Di antara prilaku jaman dahulu yang negatif masih terlihat diantaranya sebagai berikut: adu domba, patuh pada pimpinan apakah benar atau salah, kekerasan.
Beberapa prilaku yang tidak baik dan masih ada sampai sekarang adalah adanya geng pemuda yang negatif. Anggota geng tersebut sangat taat pada pimpinannya juga melakukan apa saja meskipun merugikan orang lain. Perkelahian pelajar maupun mahasiswa ini juga mencerminkan masih adanya budaya penjajahan yang secara tidak sadar mengilhami, ini terbukti dengan adanya kekerasan. Masih ada juga yang mengadu domba kelompok-kelompok masyarakat, menbuat kondisi tidak tentram, sehingga yang mengadu domba mendapat keuntungan dibalik perkelahian tersebut.
Adanya bom bunuh diri, teroris dan konflik sara, hal ini sebenarnya juga prilaku yang dilakukan oleh penjajah, yang secara tidak sadar mengilhami prilaku kejahatan tersebut. Prilaku penjajah tersebut dilakukan oleh aktor intelektual maupun pelakunya langsung.     
Peran media sangatlah penting. Jangan sampai informasi dari media massa ditiru bagi masyarakat. Prilaku masyarakat yang meniru ini boleh asalkan yang ditiru positif dan jangan yang negatif. Kita ketahui bersama bahwa prilaku yang tidak baik itu akan lebih mudah ditiru dibandingkan prilaku yang baik.
Contoh fenomena buruk dimasyarakat, bahwa setelah ada penanyangan bunuh diri beberapa waktu kemudian ada penanyangan bunuh diri yang terjadi. Penanyangan tentang mutilasi, akan ada penanyangan mutilasi pada waktu berikutnya. Penanyangan sodomi, akan ada penanyangan sodomi pada waktu berikutnya. Beberapa contoh fenomena tersebut diatas, menjadikan keprihatinan kita semua. Oleh sebab itu maka media harus hati-hati dalam memberikan infomasi kepada masyarakat.
Akan lebih baik informasi yang disebarkan adalah informasi demi kemajuan bangsa. Hal ini perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia. Karna bangsa ini masih pada fase suka meniru. Proses meniru ini akan berjalan dengan baik jika dengan melihat. Oleh sebab itu maka informasi terkhusus media televisi harus memberitakan yang baik, sehingga mengakibatkan efek baik pula pada masyarakat.    
Sebenarnya bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang besar dan mampu kreatif untuk berkarnya. Hal ini terbukti adanya beberapa filosofi Indonesia yang masih dipakai sampai sekarang, semisal: Ki Hajar Dewantara (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani), filosofi jawa dalam ilmu pengetahuan adalah Niteni, Niru, Nambahi (Mengamati, Meniru, Mengembangkan), pada masa pemeritahan kali ini dedengungkan ekonomi kreatif. Beberapa contoh tersebut sebenarnya Indonesia bisa besar, maju dan makmur.
Sehingga, bagaimana bangsa Indonesia ini agar maju tergamtung dari masyarakat Indonesia sendiri. Tidak akan ada negara lain yang ingin mejajukan negara Indonesia. Jika ada pasti ada beberapa tujuan lain yang diinginkan oleh negara tersebut. Oleh sebab itu mari kita bersama satukan tujuan, kesampingkan kepentingan pribadi dan utamakan kepentingan bangsa juga negara.

B. Perumusan Masalah
     Bangsa Indonesia sudah sering mengalami kesengsaraan, penekanan, keterpurukan, terpecah belah, ketidak adilan. Masyarakat mengalami beberapa contoh prilaku diatas kemungkinan kita semua belum menyadari bahwa kebersamaan, mengutamakan kepentingan bangsa juga negara, mengesampingkan kepentingan pribadi maupun golongan akan mempercepat kemakmuran Indonesia. Beberapa uraian diatas dan latar belakang dapatlah dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana Faktor Pendukung Terbentuknya Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

C. Tujuan Penulisan
Penulis pada tulisan ini bermaksud “MENGANALISA RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA”. Karena keduanya ada keterkaitannya dan akibatnya merugikan masyarakat. Sehingga nantinya dapat:
Mengetahui Faktor Pendukung Terbentuknya Radikalisme dan Terorisme di Indonesia
Kedepan penulis menyakini bahwa tulisan ini akan bermanfaat sebagai:
1. Pemuda, tunas bangsa, penerus Indonesia.
2. Pemerhati tentang radikalisme dan terorisme.
3. Studi tentang radikalisme dan terorisme.


BAB II
KERANGKA BERPIKIR, TEORITIS dan HIPOTESA
A. Kerangka Berpikir
 1. Faktor pendukung
Faktor pendudukung adalah sesuatu atau segala kondisi yang mamapu mendorong terjadinya permasalahan. Faktor pendukung ini dapat berasal dari kondisi lingkungan, keluarga dan kebudayaan. Banyak hal yang harus dimengerti tentang terdorongnya terjadinya radikalisme dan terorisme.
Radikalisme dan terorisme memang sangat berbeda akan tetapi untuk kejadian di Indonesia faktor pendukungnya hampir mirip.  Semuanya muncul dikarenakan adanya masyarakat belum dapat merasakan pembangunan. Ada masyarakat yang masih merasa terbelenggu dengan kesengsaraan mereka merasa belum dapat menikmati kemerdekaan.
Kejadian ini deperparah konsep poemerintahan terdahulu menerapkan stabilitas negara yang ketat sehingga yang tidak sesuai akan dipinggirkan. Prilaku ini masih mirip dengan pembelengguan pada masa penjajahan. Hal ini yang sering dirasakan oleh beberapa elemen masyarakat dewasa ini. Kejadian radikalisme dan terorisme sekarang, bukan berarti penyebabnya baru-baru saja, akan tetapi faktor pendudkungnya sudah lama terjadi dan momentum timbulnya pada sekarang tepat sekali. Hal ini dikarenakan pemerintah memulai untuk membuka belenggu dan elemen masyarakat terlalu lepas berekspresi. Sehingga terasa kurang terkontrol dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain dan negara yang lebih besar.
Faktor pendudukung adalah sesuatu atau segala kondisi yang mamapu mendorong terjadinya permasalahan. Faktor pendukung ini dapat berasal dari kondisi lingkungan, keluarga dan kebudayaan. Banyak hal yang harus dimengerti tentang terdorongnya terjadinya radikalisme dan terorisme.
Radikalisme dan terorisme memang sangat berbeda akan tetapi untuk kejadian di Indonesia faktor pendukungnya hampir mirip.  Semuanya muncul dikarenakan adanya masyarakat belum dapat merasakan pembangunan. Ada masyarakat yang masih merasa terbelenggu dengan kesengsaraan mereka merasa belum dapat menikmati kemerdekaan.
Kejadian ini diperparah konsep poemerintahan terdahulu menerapkan stabilitas negara yang ketat sehingga yang tidak sesuai akan dipinggirkan. Prilaku ini masih mirip dengan pembelengguan pada masa penjajahan. Hal ini yang sering dirasakan oleh beberapa elemen masyarakat dewasa ini. Kejadian radikalisme dan terorisme sekarang, bukan berarti penyebabnya baru-baru saja, akan tetapi faktor pendudkungnya sudah lama terjadi dan momentum timbulnya pada sekarang tepat sekali. Hal ini dikarenakan pemerintah memulai untuk membuka belenggu dan elemen masyarakat terlalu lepas berekspresi. Sehingga terasa kurang terkontrol dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain dan negara yang lebih besar.
2. Radikalisme
Radikalisme adalah identik dengan kekerasan. Kekerasan bangsa ini sudah sering dialami oleh beberapa elemen bangsa. Semenjak jaman penjajahan yang selama 3,5 abad. Proses ini jelas ikut membentuk prilaku bangsa ini. Secara sadar maupun tidak sadar pengalaman dijajah telah membentuk prilaku bangsa Indonesia.
Prilaku yang terbentuk secara tidak sadar adalah diantaranya pemberontak dan penindas. Kedua hal ini secara tidak sadar akan mempengaruhi prilaku bangsa ini. Beberapa yang menjadi pemangku kebijakan sering menerapkan kebijakkan yang memaksa dan begitu sebaliknya masyarakat yang dipimpin menolak dahulu tanpa berpikir panjang. Banyak kejadian yang terjadi dimasyarakat bangkan bangsa ini juga secara tidak langsung bertindak hal sama. Apabila kita tidak senang pada prilaku seseorang maka semua produk keilmuan maupun kebijakkannya ditolak dan tidak dipakai. Prilaku ini adalah trauma sejarah. Bahwa kita benci penjajah dan semuanya tidak kita pakai. Sampai pada perencanaan kota yang jauh kedepan tidak dipakai karena kita terlalu benci pada semua produk penjajah. Padahal tidak semua produknya menyengsarakan bangsa.
Hal inilah yang secara tidak sengaja membentuk prilaku bangsa. Karena secara tidak sadar kita hannya meniru prilaku pendahulu kita. Padahal prilaku pendahulu belum tentu semua baik dan belum tentu semua buruk.
Memang kita cukup menyadari bahwa bangsa ini dijajah dengan kekerasan sehingga orang tua mendidik anak dengan kekerasan pula. Akan tetapi angkatan orang tua pada tahun 2000 an ini cara mendidik sudah berubah, yaitu dengan kegembiraan. Hal ini dipertega dengan paradikma pendidikan nasional Indonesia yaitu mendidik dengan kegembiraan dan tidak tertekan. Semua yang dilakukan bangsa ini akan dinikmati 10 tahun kedepan dan tidak mungkin dinikmati sekarang. Sekali lagi kejadian sekarang adalah berhasal dari pola prilaku terdahulu. 

3. Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sekitar.
Kalau kita ingat masa lalu ini adalah prilaku yang secara tidak sadar diilhami oleh prilaku penjajah. Secara tidak sadar kekerasan yang mematikan ini didasari atau terinspirasi oleh prilaku pendahulunya. Karena manusia ini hannya bisa melihat, mengamati, meniru, menambahi dan memperbaiki. Semua yang dilihat dan dirasakan akan menginspirasi prilakunya dimasa mendatang.
B. Kerangka Teoritis
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Semuanya timbul dikarenakan ada elemen masyarakat yang tidak terakomodir sehingga membuat gerakan-gerakan. Selain itu ada elemen yang tidak puas dengan pemerintahan. Ada juga yang balas dendam karena pada masa pemerintahan terdahulu tidak dapat berekspresi dan juga ada sekelompok masyarakat yang selalu kehidupan beragama yang dibatasi dan diawasi dengan ketidak adilannya masa lalu. Kemudian beberapa elemen tersebut membuat gerakan gerakan ini diinspirasi oleh pengalaman saat mendapat pengalaman hidup. Sehingga faktor pengalaman dalam mengarungi bahtera kehidupan ini cukup membentuk prilaku individu dalam bertindak. Secara gambar dapat divisualkan sebagai berikut.

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

C. Hipotesa
Dari beberapa uraian di atas maka dapat ditarik suatu hipotesa yaitu:
“Adanya Faktor Pendukung Terbentuknya Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

BAB III
A.      PEMBAHASAN
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, terlepas dari kontroversi kebenarannya tentang pelakunya adalah teroris, sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill.
B. Aspek Hukum
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.”
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.
Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
  1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
  3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
  4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
  1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
  2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
 Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
C. Aspek Prilaku
     Selain dari aspek hukum aspek prilaku juga sangat penting. Kalau dilihat dari asal mula terjadinya terorisme berasal dari ketidakpuasan, tidak adil , balas dendam,Sakit hati. Langkah yang utama adalah semuanya dihilangkan. Memang ini tidak dapat langsung berdampak positif. Menginggat pelakunya adalah orang yang terlukai masa lalu dan tidak dapat terakomodir.
     Agar barisan sakit hati ini tidak menyebar maka jangan menyakiti lagi. Sedangkan untuk pelaku yang sudah terlanjur pengobatannya melalui hukum. Paling penting mengubah prilaku adalah di dunia pendidikan. Secara tidak sadar pendidikan ini membentuk karakter bangsa. Tapi kita cukup berbangga dan lega bahwa metode pendidikan disekolah sudah bergeser kemodel pendidikanyang menyenangkan.
D. Aspek Keagamaan
Peran pemuka agama sangat penting karena sifat orang Indonesia adalah sangat taat pada pemuka agama. Akan tetapi jangan sampai pemuka agama ini membuat doktrin yang keliru, sehingga tidak jarang para umat ini terjerumus ketempat terorisme. Banyak sekali pemuda yang tidak menyadari bahwa paham agama yang diikuti adalah kelompok yang dompleng keagama untuk penggalangan kader teroris.
Oleh sebab itu Para pemuka agama harus merapatkan sreng koordinasi untuk mengawasi paham-paham yang memungkinkan terorisme bisa masuk. Mengingat orang Indonesia adalah pemeluk agama yang sangat dan mudah taat kepeda pemimpin tanpa adanya memilah dan memilih, yang penting kalau dari pemuda atau tokoh agama pasti benar. Fenomena masyarakat yang demikian ini membuat mudah termasuki oleh paham terorisme.
Tugas kita bersama untuk mengubah pola pikir masyarakat yang demikian. Masyarakat harus diajari untuk menilai, menyaring dan menelaah apa yang diajarkan oleh pemuka agama. Agar para umat beragama selalu waspada untuk menerima ajaran. Setiap ajaran harus dirasakan apakah benar atau salah. Jika ajaran tersebut salah maka jangan diikuti dan begitu sebaliknya jika ajaran itu benar haruslah dilaksanakan.


BAB IV
HASIL

Beberapa pembahasan pada bab terdahulu radikalisme dan terorisme memang sangat rumit sekali. Beberapa kejadian yang ada, bukan semata-mata hasil dari prilaku pemerintah yang sekarang akan tetapi kejadian ini adalah hasil kebijakan terdahulu dan mendapatkan momentum untuk terjadi pada masa sekarang. Juga kejadian yang besuk akan terjadi adalah hasil dari kebijakan yang sekarang diambil dan juga mendapat kesempatan untuk terjadi.
Oleh sebab itu produk budaya hari ini hasilnya akan terasa kedepan. Sehingga tinggal kita semua akan mewariskan yang baik atau yang buruk. Secara sadar maupun tidak sadar prilaku kita hari ini akan tercermin dimasa mendatang para anak cucu kita. Oleh sebab itu pada masa sekarang pemerintah harus benar-benar menyelesaikan beberapa permasalahan yang dapat menimbulkan kesenjangan. Berawal dari kesenjangan semua akan terjadi.
Melihat kejadian dimasa penjajahan, kesenjangan yang dibuat penjajahan menimbulkan pahlawan-pahlawan bagi Indonesia tapi pemberontak bagi penjajah. Juga pada masa pemerintahan Indonesia. Selama ada kesenjangan akan menimbulkan beberapa permalasahan. Permasalahan itu akan timbul sama dan akibatnya juga sama. Mengenahi nama akan sesuai dengan perkembangannya. Kalau jaman sekarang namanya terorisme bisa jadi, jaman yang akan datang  namanya akan lain.
Akan lebih berhasil jika permasalahan kesenjangan deselesaikan dengan cara memasuki ranah budaya. Hal ini dibuktikan dari sejarah terdahulu. Jatuhnya Aceh ke penjajah dengan memasuki budaya dan merusak paham yang ada. Tersebarnya agama dengan mudah dengan budaya. Oleh sebab itu memerangi teroris harus dengan budaya. Karena teroris bermula dan tumbuh dari prilaku dan diobati dengan prilaku pula.

  
BAB V
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari beberapa uraian dapat diambil kesimpulan:
1. Radikalisme dan terorisme tumbuh karena kesenjangan.
2. Prilaku radikalisme dan terorisme terinspirasi dari kejadian yang dialami sebelumnya.
3. Sifat manusia adalah: melihat, meniru, menambahi. 
4. Hasil yang sekarang akibat sumbangan prilaku terdahulu dan ada kesempatan dimasa sekarang.
5. Cara mengatasi yang sekarang terjadi adalah dengan penindakan hukum yang tegas.
6. Cara mengatasi jangan sampai terjadi dimasa yang akan datang dengan pendekatan budaya.
7. Cara mengatasi masalah perlu melihat sejarah yang sudah ada.

B. SARAN
Setelah melihat beberapa kesimpulan yang ada yaitu,Maka saran-saran:
1. Hilangkan kesenjangan yang terjadi di masyarakat.
2.Peran serta media memberikan tontonan masyarakat yang bermanfaat sehingga memberikan inspirasi yang produktif.
3.Berprilakulah yang baik karna prilaku sekarang menjadikan inspirasi generasi mendatang dalam mengambil sikap.

 

DAFTAR PUSTAKA
Bari Muchtar. 2002, “Undang-Undang AntiTerorisme Sangat Mengkhawatirkan”.24 Juni 2010.

Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”,  http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm

Hilmar Farid. 2002, “Perang Melawan Teroris”, http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0910/05.html

Konsiderans,2003 “Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003,” LN. No.45 tahun 2003, TLN. No.4284.

Indriyanto Seno Adji.2001, Bali, “Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia,”  O.C. Kaligis & Associates, Jakarta.



Loebby Loqman.1990, “Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia,”, Universitas Indonesia, Jakarta.

Mala in se are the offences that are forbidden by the laws that are immutable: mala prohibita, such as are prohibited by laws that are not immutable. Jeremy Bentham, “Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation” Chapter 5 Influence of Time. http://www.la.utexas.edu/research/poltheory/bentham/timeplace/timeplace.c05.s02.html

Mompang L. Panggabean. 2003, Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, Suara Muhamadiyah, Jakarta.

Mulyana W. Kusumah. 2002, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III, Jakarta .

Muladi. 2002, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo.1996, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Jogjakarta.

Todung Mulya Lubis2003, “Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme” dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, Suarara Muhammadiyah, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar